Rabu, 10 Desember 2008

al farabi


Al Farabi, Filsuf dan Ilmuwan Islam Jul 14, '08 1:47 PM
for everyone

Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.

Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.

Setelah menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.

Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.

Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.

Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.

Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.

Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.

Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.

Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.

mata kulian filsafat FAI

Al-Kindi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Al-Kindi (يعقوب بن اسحاق الكندي) (lahir: 801 - wafat: 873), bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan.

Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah mempengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi.

Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.

Ia membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari kategori-kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer.

Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarakan oleh para bangsawan religius-orthodox terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis(terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan orthodox itu

zakat dan pemberdayaan ummat

Memaksimalkan Pemberdayaan Zakat
11-June-2006

Dengan mayoritas penduduk Muslim yang berjumlah sekitar 200 juta jiwa, potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 17,5 triliun per tahun. Namun perolehan zakat di Indonesia baru Rp 400 miliar atau baru terserap sekitar 10 persen. Padahal, jika diberdayakan dengan baik dana sebesar itu sedikit banyak bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan di Tanah Air.

‘’Kecilnya zakat yang bisa diraih lembaga amil zakat antara lain disebabkan regulasi dan kepercayaan yang masih rendah masyarakat terhadap badan amil zakat itu,’’ ujar Ketua Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidhuddin. Menurut Didin, masyarakat masih belum bisa sepenuhnya menyerahkan zakat kepada badan amil zakat. ‘’Mereka cenderung memberikannnya secara langsung kepada masyarakat, akibatnya peranan amil zakat masih belum optimal,’’ jelasnya.

Karena itu badan amil zakat perlu membuat suatu terobosan baru memberikan penerangan yang lebih rinci mengenai badan amil zakat dan zakat tersebut kepada masyarakat sehingga badan amil zakat itu dapat difungsikan dengan lebih baik. ‘’Selain itu faktor kelembagaan badan amil zakat yang belum profesional juga menjadi salah satu kendala,’’ ujarnya.

Meski demikian, Didin mengatakan, perzakatan di dalam negeri dinilai cukup menggembirakan yang terlihat dengan makin bertambahnya orang-orang berzakat dan kepercayaan kepada badan amil zakat yang terus meningkat. ‘’Kiprah lembaga zakat untuk berbuat amal makin terasa kegunaannya, sehingga perlu diperluas kelembagaan itu, meski saat ini dinilai masih belum optimal,’’ tegasnya.

Lebih jauh Didin menyatakan, semua pihak yang terkait dengan urusan pengelolaan zakat, infak, dan sedekah (ZIS ) sudah sepatutnya saling bekerjasama sehingga pengelolaan ZIS dapat lebih berhasil, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Karena itu, kata Didin, BAZ nasional akan menerapkan empat strategi pokok pengelolaan zakat untuk meningkatkan jumlah pengumpulan zakat dari masyarakat.

Keempat strategi pokok itu adalah memperluas sosialisasi zakat, penguatan kelembagaan pengelolaan zakat, peningkatan pendayagunaan zakat, dan membangun koordinasi yang erat di antara semua lembaga pengelola zakat. Pengelolaan zakat di Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum berupa UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Permasalahannya adalah dalam tataran praksis UU ini dianggap tak berdaya. Karena UU ini dalam pelaksanaanya tak diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP) laiknya UU lainnya. Tak heran jika Badan Amil Zakat (BAZ) di daerah-daerah tak mampu secara optimal menggalang dana zakat dari masyarakat. Kemudian muncullah ‘’kreativitas’’ daerah melahirkan Peraturan Daerah mengenai pengelolaan zakat ini. Tujuannya, agar BAZ dapat berjalan dan penggalangan dana zakat dari masyarakat dapat dilakukan secara optimal.

Menurut Isbir Fadly, Kasubdit Pemberdayaan Zakat, Departemen Agama (Depag), UU No 38/ 1999 seperti diketahui tidak diatur dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal pada umumnya, sebuah UU dalam implementasinya diatur dengan sebuah PP. Ketiadaan PP ini, karena wacana yang berkembang di DPR kala itu adalah bahwa UU NO 38/ 1999 ini tak perlu diatur dengan sebuah PP. ‘’Cukup dengan Keputusan Menteri Agama (KMA),’’ ujar isbir.

Kalangan wakil rakyat beranggapan isi sebagian besar UU tersebut bersifat teknis. Misalnya, pasal 7 dari UU tersebut. Di dalamnya sudah dibahas mengenai pengukuhan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan struktur organisasi Badan Amil Zakat (BAZ). Namun dalam perkembangannya di lapangan penerapan UU ini mengalami hambatan. Isbir menerangkan, dalam pengelolaan zakat tercakup dua kegiatan di dalamnya, yakni pengumpulan dan pendayagunaan zakat. Dan ketiadaan PP inilah yang kemudian melahirkan kendala dalam pengumpulan zakat di daerah. Karena ternyata BAZ di daerah yang harusnya berwenang meminta instansi-instansi untuk membentuk Unit Pengumpulan Zakat (UPZ), malah tak dapat berbuat apa-apa. Hal ini terbukti, hanya beberapa instansi saja yang telah mendirikan UPZ. Kenyataan inilah yang kemudian menghambat pengumpulan zakat di daerah.

Guru Besar IAIN Walisongo Semarang Ahmad Rofiq menyatakan, sudah saatnya kaum Muslim di Indonesia melakukan autokritik bahwa selama ini ternyata belum bisa mengelola zakat sesuai dengan misi utama zakat. Zakat yang masih bersifat konsumtif dan karitatif secara formal memang sudah dibayarkan dan didistribusikan. ‘’Tapi selama itu pula tak pernah dapat mengubah para mustahik menjadi muzakki. Sehingga antara zakat yang setiap tahun dibayarkan, tidak ada korelasi yang signifikan bagi upaya pengentasan kaum miskin,’’ ingatnya. cmm