Rabu, 10 Desember 2008

zakat dan pemberdayaan ummat

Memaksimalkan Pemberdayaan Zakat
11-June-2006

Dengan mayoritas penduduk Muslim yang berjumlah sekitar 200 juta jiwa, potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 17,5 triliun per tahun. Namun perolehan zakat di Indonesia baru Rp 400 miliar atau baru terserap sekitar 10 persen. Padahal, jika diberdayakan dengan baik dana sebesar itu sedikit banyak bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan di Tanah Air.

‘’Kecilnya zakat yang bisa diraih lembaga amil zakat antara lain disebabkan regulasi dan kepercayaan yang masih rendah masyarakat terhadap badan amil zakat itu,’’ ujar Ketua Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidhuddin. Menurut Didin, masyarakat masih belum bisa sepenuhnya menyerahkan zakat kepada badan amil zakat. ‘’Mereka cenderung memberikannnya secara langsung kepada masyarakat, akibatnya peranan amil zakat masih belum optimal,’’ jelasnya.

Karena itu badan amil zakat perlu membuat suatu terobosan baru memberikan penerangan yang lebih rinci mengenai badan amil zakat dan zakat tersebut kepada masyarakat sehingga badan amil zakat itu dapat difungsikan dengan lebih baik. ‘’Selain itu faktor kelembagaan badan amil zakat yang belum profesional juga menjadi salah satu kendala,’’ ujarnya.

Meski demikian, Didin mengatakan, perzakatan di dalam negeri dinilai cukup menggembirakan yang terlihat dengan makin bertambahnya orang-orang berzakat dan kepercayaan kepada badan amil zakat yang terus meningkat. ‘’Kiprah lembaga zakat untuk berbuat amal makin terasa kegunaannya, sehingga perlu diperluas kelembagaan itu, meski saat ini dinilai masih belum optimal,’’ tegasnya.

Lebih jauh Didin menyatakan, semua pihak yang terkait dengan urusan pengelolaan zakat, infak, dan sedekah (ZIS ) sudah sepatutnya saling bekerjasama sehingga pengelolaan ZIS dapat lebih berhasil, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Karena itu, kata Didin, BAZ nasional akan menerapkan empat strategi pokok pengelolaan zakat untuk meningkatkan jumlah pengumpulan zakat dari masyarakat.

Keempat strategi pokok itu adalah memperluas sosialisasi zakat, penguatan kelembagaan pengelolaan zakat, peningkatan pendayagunaan zakat, dan membangun koordinasi yang erat di antara semua lembaga pengelola zakat. Pengelolaan zakat di Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum berupa UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Permasalahannya adalah dalam tataran praksis UU ini dianggap tak berdaya. Karena UU ini dalam pelaksanaanya tak diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP) laiknya UU lainnya. Tak heran jika Badan Amil Zakat (BAZ) di daerah-daerah tak mampu secara optimal menggalang dana zakat dari masyarakat. Kemudian muncullah ‘’kreativitas’’ daerah melahirkan Peraturan Daerah mengenai pengelolaan zakat ini. Tujuannya, agar BAZ dapat berjalan dan penggalangan dana zakat dari masyarakat dapat dilakukan secara optimal.

Menurut Isbir Fadly, Kasubdit Pemberdayaan Zakat, Departemen Agama (Depag), UU No 38/ 1999 seperti diketahui tidak diatur dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal pada umumnya, sebuah UU dalam implementasinya diatur dengan sebuah PP. Ketiadaan PP ini, karena wacana yang berkembang di DPR kala itu adalah bahwa UU NO 38/ 1999 ini tak perlu diatur dengan sebuah PP. ‘’Cukup dengan Keputusan Menteri Agama (KMA),’’ ujar isbir.

Kalangan wakil rakyat beranggapan isi sebagian besar UU tersebut bersifat teknis. Misalnya, pasal 7 dari UU tersebut. Di dalamnya sudah dibahas mengenai pengukuhan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan struktur organisasi Badan Amil Zakat (BAZ). Namun dalam perkembangannya di lapangan penerapan UU ini mengalami hambatan. Isbir menerangkan, dalam pengelolaan zakat tercakup dua kegiatan di dalamnya, yakni pengumpulan dan pendayagunaan zakat. Dan ketiadaan PP inilah yang kemudian melahirkan kendala dalam pengumpulan zakat di daerah. Karena ternyata BAZ di daerah yang harusnya berwenang meminta instansi-instansi untuk membentuk Unit Pengumpulan Zakat (UPZ), malah tak dapat berbuat apa-apa. Hal ini terbukti, hanya beberapa instansi saja yang telah mendirikan UPZ. Kenyataan inilah yang kemudian menghambat pengumpulan zakat di daerah.

Guru Besar IAIN Walisongo Semarang Ahmad Rofiq menyatakan, sudah saatnya kaum Muslim di Indonesia melakukan autokritik bahwa selama ini ternyata belum bisa mengelola zakat sesuai dengan misi utama zakat. Zakat yang masih bersifat konsumtif dan karitatif secara formal memang sudah dibayarkan dan didistribusikan. ‘’Tapi selama itu pula tak pernah dapat mengubah para mustahik menjadi muzakki. Sehingga antara zakat yang setiap tahun dibayarkan, tidak ada korelasi yang signifikan bagi upaya pengentasan kaum miskin,’’ ingatnya. cmm

Tidak ada komentar: