Rabu, 10 Desember 2008

al farabi


Al Farabi, Filsuf dan Ilmuwan Islam Jul 14, '08 1:47 PM
for everyone

Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.

Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.

Setelah menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.

Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.

Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.

Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.

Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.

Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.

Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.

Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.

mata kulian filsafat FAI

Al-Kindi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Al-Kindi (يعقوب بن اسحاق الكندي) (lahir: 801 - wafat: 873), bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan.

Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah mempengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi.

Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.

Ia membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari kategori-kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer.

Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarakan oleh para bangsawan religius-orthodox terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis(terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan orthodox itu

zakat dan pemberdayaan ummat

Memaksimalkan Pemberdayaan Zakat
11-June-2006

Dengan mayoritas penduduk Muslim yang berjumlah sekitar 200 juta jiwa, potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 17,5 triliun per tahun. Namun perolehan zakat di Indonesia baru Rp 400 miliar atau baru terserap sekitar 10 persen. Padahal, jika diberdayakan dengan baik dana sebesar itu sedikit banyak bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan di Tanah Air.

‘’Kecilnya zakat yang bisa diraih lembaga amil zakat antara lain disebabkan regulasi dan kepercayaan yang masih rendah masyarakat terhadap badan amil zakat itu,’’ ujar Ketua Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidhuddin. Menurut Didin, masyarakat masih belum bisa sepenuhnya menyerahkan zakat kepada badan amil zakat. ‘’Mereka cenderung memberikannnya secara langsung kepada masyarakat, akibatnya peranan amil zakat masih belum optimal,’’ jelasnya.

Karena itu badan amil zakat perlu membuat suatu terobosan baru memberikan penerangan yang lebih rinci mengenai badan amil zakat dan zakat tersebut kepada masyarakat sehingga badan amil zakat itu dapat difungsikan dengan lebih baik. ‘’Selain itu faktor kelembagaan badan amil zakat yang belum profesional juga menjadi salah satu kendala,’’ ujarnya.

Meski demikian, Didin mengatakan, perzakatan di dalam negeri dinilai cukup menggembirakan yang terlihat dengan makin bertambahnya orang-orang berzakat dan kepercayaan kepada badan amil zakat yang terus meningkat. ‘’Kiprah lembaga zakat untuk berbuat amal makin terasa kegunaannya, sehingga perlu diperluas kelembagaan itu, meski saat ini dinilai masih belum optimal,’’ tegasnya.

Lebih jauh Didin menyatakan, semua pihak yang terkait dengan urusan pengelolaan zakat, infak, dan sedekah (ZIS ) sudah sepatutnya saling bekerjasama sehingga pengelolaan ZIS dapat lebih berhasil, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Karena itu, kata Didin, BAZ nasional akan menerapkan empat strategi pokok pengelolaan zakat untuk meningkatkan jumlah pengumpulan zakat dari masyarakat.

Keempat strategi pokok itu adalah memperluas sosialisasi zakat, penguatan kelembagaan pengelolaan zakat, peningkatan pendayagunaan zakat, dan membangun koordinasi yang erat di antara semua lembaga pengelola zakat. Pengelolaan zakat di Indonesia sebenarnya telah memiliki payung hukum berupa UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Permasalahannya adalah dalam tataran praksis UU ini dianggap tak berdaya. Karena UU ini dalam pelaksanaanya tak diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP) laiknya UU lainnya. Tak heran jika Badan Amil Zakat (BAZ) di daerah-daerah tak mampu secara optimal menggalang dana zakat dari masyarakat. Kemudian muncullah ‘’kreativitas’’ daerah melahirkan Peraturan Daerah mengenai pengelolaan zakat ini. Tujuannya, agar BAZ dapat berjalan dan penggalangan dana zakat dari masyarakat dapat dilakukan secara optimal.

Menurut Isbir Fadly, Kasubdit Pemberdayaan Zakat, Departemen Agama (Depag), UU No 38/ 1999 seperti diketahui tidak diatur dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal pada umumnya, sebuah UU dalam implementasinya diatur dengan sebuah PP. Ketiadaan PP ini, karena wacana yang berkembang di DPR kala itu adalah bahwa UU NO 38/ 1999 ini tak perlu diatur dengan sebuah PP. ‘’Cukup dengan Keputusan Menteri Agama (KMA),’’ ujar isbir.

Kalangan wakil rakyat beranggapan isi sebagian besar UU tersebut bersifat teknis. Misalnya, pasal 7 dari UU tersebut. Di dalamnya sudah dibahas mengenai pengukuhan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan struktur organisasi Badan Amil Zakat (BAZ). Namun dalam perkembangannya di lapangan penerapan UU ini mengalami hambatan. Isbir menerangkan, dalam pengelolaan zakat tercakup dua kegiatan di dalamnya, yakni pengumpulan dan pendayagunaan zakat. Dan ketiadaan PP inilah yang kemudian melahirkan kendala dalam pengumpulan zakat di daerah. Karena ternyata BAZ di daerah yang harusnya berwenang meminta instansi-instansi untuk membentuk Unit Pengumpulan Zakat (UPZ), malah tak dapat berbuat apa-apa. Hal ini terbukti, hanya beberapa instansi saja yang telah mendirikan UPZ. Kenyataan inilah yang kemudian menghambat pengumpulan zakat di daerah.

Guru Besar IAIN Walisongo Semarang Ahmad Rofiq menyatakan, sudah saatnya kaum Muslim di Indonesia melakukan autokritik bahwa selama ini ternyata belum bisa mengelola zakat sesuai dengan misi utama zakat. Zakat yang masih bersifat konsumtif dan karitatif secara formal memang sudah dibayarkan dan didistribusikan. ‘’Tapi selama itu pula tak pernah dapat mengubah para mustahik menjadi muzakki. Sehingga antara zakat yang setiap tahun dibayarkan, tidak ada korelasi yang signifikan bagi upaya pengentasan kaum miskin,’’ ingatnya. cmm

Selasa, 28 Oktober 2008

pks

PERHITUNGAN PENENTUAN KEBUTUHAN ALOKASI DALAM PENANGANAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) Penanganan PMKS dengan alokasi satuan nilai rupiah per bulan bukan berarti pemberian tersebut selalu berupa bantuan langsung, tetapi dapat berupa kegiatan yang merupakan konversi alokasi tersebut untuk kegiatan-kegiatan penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan kebijakan, kegiatan kajian dan penelitian yang terkait dengan penanganan PMKS.

No
Jenis PMKS
Jumlah
Satuan
Alokasi Rp/ Bulan
Alokasi Rp/ Tahun
Total Alokasi Rp/Tahun

1
Anak Balita Telantar
1,138,126
Jiwa


0

2
Anak Telantar
3,308,642
Jiwa
50,000
600,000
1,985,185,200,000

3
Anak Korban Tindak Kekerasan/ Diperlakukan Salah
48,526
Jiwa


0

4
Anak Nakal
189,075
Jiwa


0

5
Anak Jalanan
98,113
Jiwa


0

6
Anak Cacat
365,868
Jiwa
50,000
600,000
219,520,800,000

7
Wanita Rawan Sosial Ekonomi
1,253,921
Jiwa


0

8
Wanita Korban Tindak Kekerasan/ Diperlakukan Salah
42,844
Jiwa


0

9
Lanjut Usia Telantar
3,092,910
Jiwa
50,000
600,000
1,855,746,000,000

10
Lanjut Usia Korban Tindak Kekerasan
11,689
Jiwa
50,000
600,000
7,013,400,000

11
Penyandang Cacat
1,847,692
Jiwa
50,000
600,000
1,108,615,200,000

12
Penyandang Cacat Eks Penyakit Kronis
216,148
Jiwa
50,000
600,000
129,688,800,000

13
Tuna Susila
87,536
Jiwa


0

14
Pengemis
28,305
Jiwa


0

15
Gelandangan
59,051
Jiwa
50,000
600,000
35,430,600,000

16
Bekas Narapidana
118,183
Jiwa


0

17
Korban Penyalahgunaan Narkotika
245,774
Jiwa


0

18
Keluarga Fakir Miskin
14,807,332
Jiwa
50,000
600,000
8,884,399,200,000

19
Rumah Tidak Layak Huni
6,525,947
Rumah
50,000
600,000
3,915,568,200,000

20
Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis
195,474
KK
50,000
600,000
117,284,400,000

21
Komunitas Adat Terpencil
267,795
KK
50,000
600,000
160,677,000,000

22
Masyarakat yang Tinggal di Daerah Rawan bencana
2,075,116
KK


0

23
Korban Bencana Alam
1,139,363
Jiwa


0

24
Korban Bencana Sosial/Pengungsi
654,952
Jiwa


0

25
Pekerja Migran Telantar
45,375
Jiwa


0

26
Penyandang HIV/AIDS
5,560
Jiwa


0

27
Keluarga Rentan
1,926,210
KK
50,000
600,000
1,155,726,000,000

Total Kebutuhan Alokasi (Rp)
19,574,854,800,000


Angka kebutuhan alokasi diatas merupakan hasil perhitungan beberapa skenario alokasi anggaran dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan jenis PMKS yang menjadi bidang penangan prioritas Departemen Sosial. Dari 27 jenis PMKS hanya 12 jenis PMKS yang dipilih dan dijadikan bidang penanganan prioritas departemen sosial dibutuhkan alokasi anggaran setara per satuan PMKS per bulan sebesar Rp.50.000,- maka diperlukan alokasi anggaran sebesar Rp.19,6 trilyun. Sementara itu masih diperlukan alokasi anggaran tanggap darurat untuk penanganan bencana alam dan bencana sosial sebesar 5% dari alokasi yang ada sehingga secara total alokasi anggaran yang dibutuhkan adalah sebesar Rp.19,6 trilyun + Rp.0,9 trilyun atau Rp.20,5 trilyun atau (6,37%) dari alokasi Belanja Pemerintah Pusat tahun 2005. Untuk itu dalam masterplan pembangunan kesejahteraan sosial diajukan agar alokasi dana untuk pembangunan kesejahteraan sosial dapat diajukan dalam Undang-Undang sebesar 5% dari Belanja Pemerintah Pusat. Rancangan UU Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional dalam salah satu pasalnya mengajukan alokasi anggaran sebesar 2,5% dari APBN dan APBD.

Kamis, 15 Mei 2008


KISAH BOCAH KECIL CALON QUR’ANIC GENERATION

Saya tinggal di Iran dan punya usia anak empat tahun. Sejak tiga bulan lalu, saya masukkan
dia ke sekolah hafiz Quran untuk anak2. Setelah masuk, wah ternyata unik banget metodenya.
Siapa tau bisa dijadikan masukan buat akhwat2 (ihwan juga, -pen.) yg berkecimpung di bidang
ini.


Anak-anak balita yang masuk ke sekolah ini (namanya Jamiatul Quran), tidak disuruh langsung
ngapalin juz'amma, melainkan setiap kali datang, diperlihatkan gambar misalnya, gambar anak
lagi cium tangan ibunya. Di rumah, anak disuruh mewarnai gambar itu, lalu guru cerita ttg
gambar itu (jadi anak harus baik dll).


Kemudian, si guru ngajarin ayat wabil waalidaini ihsaana/Al Isra:23 dengan menggunakan
isyarat (kayak isyarat tuna rungu), misalnya walidaini, isyaratnya bikin kumis dan bikin
kerudung di wajah (menggambarkan ibu dan ayah). Jadi, anak2 mengucapkan ayat itu sambil
memperagakan makna ayat tersebut. Begitu seterusnya (satu pertemuan hanya satu atau dua
ayat yg diajarkan). Hal ini dilakukan selama 4
sampai 5 bulan. Setelah itu, mereka belajar membaca, dan baru kemudian mulai menghapal juz
'amma.


Suasana kelas juga semarak banget. Sejak anak masuk ke ruang kelas, sampai pulang, para
guru mengobral pujian-pujian (sayang, cantik, manis, pintar dll) dan pelukan atau ciuman. Tiap
hari (sekolah ini hanya 3 kali seminggu) selalu ada saja hadiah yang dibagikan untuk anakanak,
mulai dari gambar tempel, pensil warna, mobil2an, dll. Habis baca doa, anak-anak diajak
senam, baru mulai menghapal ayat. Itupun, sebelumnya guru mengajak ngobrol dan anak2
saling berebut memberikan pendapatnya. (Sayang anak saya krn masalah bahasa, cenderung
diam, tapi dia menikmati kelasnya).


Setelah berhasil menghapal satu ayat, anak-anak diajak melakukan berbagai permainan. Oya,
para ibu juga duduk di kelas, bareng2 anak2nya. Kelas itu durasinya 90 menit.
Hasilnya? Wah, bagus banget! Ketika melihat saya membuka keran air akan terlalu besar, anak
saya akan nyeletuk, Mama, itu israf (mubazir)! Soalnya, gurunya menerangkan makna surat Al
A'raf :31 kuluu washrabuu walaatushrifuu/ makanlah dan minumlah, dan jangan
israf/berlebih2an.


Waktu dia lihat TV ada polisi ngejar2 penjahat, dia nyeletuk Innal hasanaat ushrifna sayyiaat/
Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan (Hud:114).
Teman saya mengeluh (dengan nada bangga) bahwa tiap kali dia ngobrol dgn temannya ttg
orang lain, anaknya akan nyeletuk Mama, ghibah ya? (soalnya, dia sudah belajar ayat laa
yaghtab ba'dhukum ba'dhaa/Mujadalah:12). Anak saya (dan anak2 lain, sesuai penuturan ibu2
mereka), ketika sendirian, suka sekali mengulang2 ayat2 itu tanpa perlu disuruh. Ayat2 itu
seolah-olah menjadi bagian dari diri mereka.


Mereka sama sekali tidak disuruh pakai kerudung. Tapi, setelah diajarkan ayat ttg jilbab (An-
Nur:31), mereka langsung minta sama ibunya untuk dipakaikan jilbab. Anak saya, ketika ingkar
janji (misalnya, janji nggak main lama2, trus ternyata mainnya lama), saya ingatkan ayat limaa
taquuluu maa laa taf'alun (As-Shaf:2)dia langsung
bilang Nanti nggak gitu lagi Ma Akibatnya, jika saya mengatakan sesuatu dan tidak saya tepati,
ayat itu pula yang keluar dari mulutnya!


Setelah tanya2 ke pihak sekolah, baru saya tahu bahwa metode seperti ini, tujuannya adalah
untuk menimbulkan kecintaan anak2 kepada Al Quran. Anak2balita itu di masa depan akan
mmpunyai kenangan indah ttg Al Quran.


Metode pengajaran ayat Quran dengan menggunakan isyarat ini diciptakan oleh seorang ulama
bernama Sayyid Thabathabai. Anak beliau yang pertama pada usia 5 tahun di bawah bimbingan
beliau sendiri, sudah hapal seluruh juz Al Quran, berikut maknanya, hapal topik2nya (misalnya,
ditanyakan, coba sebutkan ayat2 mana saja yg berbicara ttg akhlak kepada orangtua, dia akan
menyebut, ayat ini..ini..ini..), dan mampu bercakap-cakap dengan bahasa Al Quran (misalnya
ditanya; makanan favoritmu apa, dia akan menjawab Kuluu mimma fil ardhi halaalan
thayyibaa(Al Baqarah:168). Anak kedua juga memiliki kemampuan sama, tapi sedikit lebih
lambat, mungkin usia 6 atau 7
tahun.


Keberhasilan anak2 Sayyid Thabathabi itu benar-benar fenomental (bahkan anak pertamanya
diberi gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ulumul Quran oleh sebuah universitas di Inggris),
sehingga sejak itu, gerakan menghapal Quran untuk anak-anak kecil benar2 digalakkan di Iran.
Setiap anak penghapal Quran dihadiahi pergi haji bersama orangtuanya oleh negara dan setiap
tahunnya ratusan anak kecil di
bawah usia 10 tahun berhasil menghapal Al Quran (jumlah ini lebih banyak kalau dihitung juga
dengan anak lulusan dari sekolah2 lain).


Salah satu tujuan Iran dalam hal ini (kata salah seorang guru) adalah untuk menepis isu-isu
dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah umat muslim, yang menyatakan bahwa
Quran-nya orang Iran itu beda/lain daripada yg lain).


Saya pernah diskusi dgn teman saya dosen ITB, dia mengatakan bahwa metode seperti itu
merangsang kecerdasan anak karena secara bersamaan anak akan melihat gambar, mendengar
suara, melakukan gerakan-gerakan yang selaras dengan ucapan verbal, dll. Sebaliknya,
menghapal secara membabi-buta, malah akan membuntukan otak anak. Selain itu, menurut
guru di Jamiatul Quran ini, pengalaman menunjukkan bahwa anak-anak
yang menghapal Quran dengan melalui proses isyarat ini (jadi mulai sejak balita sudah masuk
ke sekolah itu) lebih berhasil dibandingkan anak-anak yang masuk ke sana ketika usia SD.
Selain itu, menghapal Al Quran lengkap dengan pemahaman atas artinya jauh lebih bagus dan
awet (nggak cepat lupa) bila dibandingkan dengan hapal cangkem (mulut)