Minggu, 25 September 2011

Materi II: Akhlak Kepada Allah

AKHLAK KEPADA ALLAH SWT

Pendahuluan

Akhlak kepada Allah adalah refleksi pikiran, hati dan anggota badan untuk tunduk patuh kepada Allah swt. Sehingga kalau akhlak kepada Allah swt ini telah meresap dan menjelma dalam kehidupan ummat dan bangsa ini maka kehidupan ummat dan bangsa ini akan lebih baik. Hal ini telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-a’raf ayat 96. yang artinya :” Andaikata seluruh penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa kepada Allah maka sungguh Kami akan bukakan keberkahan dari langit dan bumi, akan tetapi kebanyak mereka mendustakan sungguh Kami akan mengadzab mereka dengan apa yang mereka usahakan. (Surat al-A’raf 96)
Akhlak kepada Allah diklasifikasikan: Taqwa , Cinta, Ridho, Khauf, Roja’, Ikhlas, Syukur, Taubat dan tawakkal. Beberapa akhlak ini dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini:
1. Taqwa
Takwa ini merupakan perintah Allah kepada seluruh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya, kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.s. an Nisaa`: 1).
Keutamaan takwa sangat sering kita dengar, antara lain firman Allah,
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Q.s. ath Thalaq: 2).
Juga firman-Nya,
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Q.s. ath Thalaq: 4).
Dan firman-Nya,
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya, dan akan melipatgandakan pahala baginya. (Q.s. ath Thalaq: 5).
Kita berharap, semoga Allah membersihkan jiwa kita dan memberikan ketakwaan pada hati kita, yang ketakwaan itu muncul pada lisan dan perbuatan kita semua.

2. Cinta (mahabbah)
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Aali ‘Imraan:31)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalau kita mengaku cinta kepada Allah, maka kita harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu mengikuti sunnah-sunnah beliau. Tidak ada artinya sama sekali kalau seseorang mengaku-aku cinta kepada Allah akan tetapi amalannya tidak mengikuti Rasulullah bahkan dia beramal dengan berbagai kebid’ahan bahkan kesyirikan dan kekufuran, nas`alullaahas salaamah (kita memohon kepada Allah keselamatan).
Betapa banyak orang yang mengaku-aku cinta kepada Allah, akan tetapi Allah tidak mencintainya. Orang-orang yahudi, nashara, orang-orang shufi, para penyembah kuburan, para penyembah ilmu filsafat seperti JIL (Jaringan Iblis La’natullah ‘alaihim) dan golongan-golongan sesat lainnya, apakah Allah mencinta mereka. Sungguh indah perkataan sebagian ‘ulama Salaf, “Sesungguhnya perkara itu bukan bagaimana engkau mencintai akan tetapi bagaimana agar engkau dicintai.”
Memang kita diperintahkan untuk mencintai Allah, akan tetapi jangan sampai hanya sekedar pengakuan belaka tanpa bukti. Bahkan yang paling penting adalah kita harus berusaha supaya Allah mencintai kita.
Untuk mendapatkan kecintaan Allah tentunya kita harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni mengikuti sunnah-sunnah beliau, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Dan perlu kita ketahui bahwasanya yang dimaksud sunnah adalah apa-apa yang disandarkan kepada beliau, baik ucapan, perbuatan, taqrir/persetujuan dan sifat beliau. Yang meliputi aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Ada yang sifatnya wajib dan ada yang sunnah/mustahab. Yang wajib berarti harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sedangkan yang sunnah, semaksimal mungkin dilaksanakan.
Bahkan ulama yang lain menyatakan lebih luas lagi, yakni sunnah adalah beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, mengikuti Salafush Shalih dan mengikuti atsar.” (Al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah 2/428, diambil dari Ta’zhiimus Sunnah hal.18)
Berkata Al-Imam Al-Barbahariy, “Ketahuilah bahwasanya Islam adalah sunnah dan sunnah adalah Islam, dan tidak akan tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya.” (Syarhus Sunnah no.1 hal.65)
Artinya kalau kita melaksanakan sunnah-sunnah beliau secara keseluruhan, maka itulah Islam. Karena tidak ada yang beliau bawa kecuali Islam dan itulah sunnah beliau.
‘A`isyah pernah ditanya, bagaimana akhlaknya Rasulullah, maka dia menjawab, “Akhlaknya adalah Al-Qur`an.” Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna telah melaksanakan semua isi Al-Qur`an. Yang dibawa oleh beliau adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan itulah sunnah beliau dan itulah Islam.
Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnah beliau agar menjadi orang-orang yang dicintai oleh Allah, aamiin

3. Ridho
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang[2].
Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti “ridha kepada sesuatu” adalah merasa cukup dan puas dengannya, serta tidak menginginkan selainnya”[4].
- Arti “merasakan kelezatan/kemanisan iman” adalah merasakan kenikmatan ketika mengerjakan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, bersabar dalam menghadapi kesulitan dalam (mencari) ridha Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengutamakan semua itu di atas balasan duniawi, disertai dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya[5].
- Makna “ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya[6].
- Makna “ridha kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan mengamalkan syariat Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam. Demikian pula “ridha kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul” artinya hanya mencukupkan diri dengan mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, serta tidak menginginkan selain petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [7].
- Sifat yang mulia inilah dimiliki oleh para sahabat Rasulullah, generasi terbaik umat ini, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).
Juga yang disebutkan dalam hadits shahih: “Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan/kelezatan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia (para sahabat radhiyallahu ‘anhum)

4. Khauf (takut)
Seorang mukmin adalah seorang yang takut kepada Allah dengan seluruh anggota badannya. Abu Layts, seorang ahli fikih besar berkata,"Tanda - tanda khauf kepada Allah tampak dalam tujuh hal. Pertama, pada lisannya. Ia akan menolak bicara bohong, mencela orang, adu domba, mengucapkan kata-kata kotor, dan berbicara tanpa guna. Lisannya akan senantiasa sibuk dengan zikir kepada Allah, membaca Al-Quran, dan menghiasi dirinya dengan ilmu pengetahuan.

Kedua, pada hatinya. Maka orang yang takut kepada Allah akan meninggalkan sikap dengki. Sebab dengki akan menghapus kebaikannya, seperti disabdakan Rasulullah," Kedengkian (hasad) itu akan memangsa kebaikan seperti api memangsa kayu." Ketahuilah, kedengkian itu adalah penyakit hati yang berat yang hanya bisa diobati dengan ilmu dan amal.

Ketiga, pada matanya. Maka ia tidak akan melihat sesuatu yang diharamkan, baik makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya. Iapun tidak melihat dunia dengan kegairahan, selain sebagai bahan perenungan (ikhtibar) dan dia tidak akan melihat sesuatu yang tidak halal baginya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memenuhi matanya dengan pandangan haram maka Allah akan memenuhi matanya kelak dihari kiamat dengan api.”
Keempat, pada perutnya. Perut mereka tidak akan dimasuki makanan yang haram karena makan sesuatu yang haram termasuk dosa besar. Rasulullah bersabda, “Ketika satu suapan barang haram masuk ke dalam tubuh anak Adam, maka semua malaikat yang ada di langit dan di bumi melaknatnya selama makanan itu tersimpan dalam tubuhnya. Jika ia mati dalam keadaan itu, maka neraka Jahanam menjadi tempatnya.”
Kelima, pada tangannya. Maka orang yang takut kepada Allah tidak memanfaatkan tangannya untuk pekerjaan haram. Sebaliknya tangannya diarahkan untuk takut kepada Allah. Diriwayatkan dari Kaab Al Akhbar yang menyatakan bahwa Rasuluulah bersabda, “Sesungguhnya Allah membangun sebuah kerajaan di surga yang terbuat dari batu zabarjad hijau. Di dalamnya terdapat 70.000 vila. Pada setiap vila terdapat 70.000 rumah yang tidak akan ditempati siapapun, selain seseorang yang ketika di hadapannya diberikan sesuatu yang haram, maka ia menolaknya karena takut kepada Allah.”
Keenam, pada langkah kakinya. Orang yang takut kepada Allah tidak akan berjalan menuju arah maksiat kepada-Nya. Ia akan berjalan ke arah taat pada-Nya dan mencari ridho Allah semata. Ia akan melangkahkan kakinya untuk banyak kakinya untuk banyak bergaul dengan para ulama dan orang - orang saleh.

Ketujuh, hidupnya dipenuhi ketaatan kepada Allah. Barang siapa takut kepada Allah maka ketaatan menjadi cara hidupnya. Ia takut berbuat riya (pamer) dan bermuka dua (munafiq). Jika seseorang telah melakukan ketaatan seperti itu, maka seperti difirmankan Allah, “Dan akhirat itu disediakan oleh Tuhanmu untuk orang – orang yang bertakwa.” (Surah Az – Zukhruf ayat 35).
Dalam surah Al – Hijr ayat 45, Allah berfirman, “Sesungguhnya orang – orang yang bertakwa itu akan menikmati surga – surga dan mata air.” Firmannya lagi dalam surahAth – Thur ayat 17, “Sesungguhnya orang yang bertakwa itu akan menempati surga yang penuh kenikmatan.” Dalam firmannya yang lain pada surah Ad – Dukhan ayat 52 disebutkan, “Sesungguhnya orang – orang yang bertakwa itu berada pada tempat yang aman.” Sepertinya Allah berfirman, bahwa orang – orang yang bertakwa itu adalah orang – orang yang selamat pada hari kiamat kelak. Selayaknya seseorang yang beriman itu bersandar antara rasa takut (khauf) dan harapan (roja’). Dia selalu mengharapkan rahmat Allah dan tidak putus asa mendapatkannya.
Allah berfirman dalam surah Ash – Shura ayat 28, “Janganlah putus asa dengan rahmat Allah.” Cara mendapatkan rahmat Allah adalah dengan memperbanyak ibadah, meninggalkan perbuatan buruk, serta banyak bertobat pada-Nya.

Suatu ketika, saat Dawud as membaca kitab Zabur di singgasanany, dilihatnya cacing merah melata di atas tanah. Nabi Dawud berkata dalam dirinya, “Untuk apa Allah menciptakan cacing ini?” Tiba – tiba Allah memberi kemampuan bicara pada cacing itu. “Wahai nabi Allah, pada siang hari Allah telah memerintahkanku untuk selalu mengucapkan subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar (maha suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tiada tuhan selain Allah, dan Allah maha besar) sebanyak 1000 kali. Dan malam harinya Allah memerintahkanku membaca Allahumma shalli ‘ala Muhammadin an nabiyyil ummiyyi wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim (ya Allah berikanlah rahmat-Mu untuk nabi Muhammad, nabi yang ummi, serta untuk keluarga dan sahabatnya), sebanyak 1000 kali. Lalu, wahai nabi Allah apa yang engkau lakukan yang bisa aku manfaatkan. Nabi Dawud kemudian menyesali suara hatinya tadi dan kemudian bertobat kepada Allah.
Begitu juga pada kisah Nabi Ibrahim. Ketika ia mengingat kesalahan – kesalahannya maka ia tenggelam pada tangisnya yang terdengar hingga jauh. Maka, Allah kemudian mengutus malaikat Jibril untuk menemuinya. Jibril berkata, “Wahai Nabi Allah, Allah menyampaikan salam untukmu dan Allah berfirman, “Adakah engkau melihat seorang kekasih yang takut kepada orang yang dikasihininya?” Nabi Ibrahim menjawab, “Wahai Jibril, jika aku ingat kesalahanku dan aku memikirkan sikasanya nanti, maka aku lupa segalanya.”
5. Roja’ (harapan)
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60) Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
6. Ikhlas
Seorang sahabat dengan mimik serius mengajukan sebuah pertanyaan,“Ya kekasih Allah, bantulah aku mengetahui perihal kebodohanku ini. Kiranya engkau dapat menjelaskan kepadaku, apa yang dimaksud ikhlas itu?“
Nabi SAW, kekasih Allah yang paling mulia bersabda,“Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril a.s.apakah ikhlas itu?Lalu Jibril berkata,“Aku bertanya kepada Tuhan yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya?“ Allah SWT yang Mahaluas Pengetahuannya menjawab,“Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.“(H.R Al-Qazwini)
Dari hadits diatas nampaklah bahwa rahasia ikhlas itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang dicintai-Nya. Untuk mengetahui rahasia ikhlas kita tidak lain harus menggali hikmah dari kaum arif, salafus shaalih dan para ulama kekasih Allah.
Antara lain Imam Qusyaery dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyaah menyebutkan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. Dikatakan juga keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu manusia.
TANDA-TANDA IKHLAS SEORANG HAMBA
1. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri
2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.
Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya.
3. Tidak silau dan cinta jabatan
4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi
5. Tidak mudah kecewa.
6. Seorang hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT. Misal ketika kita menjenguk teman sakit di RS luar kota, ternyata ketika kita sampai yang bersangkutan telah sembuh dan pulang. Tentu sjaa kita tidka harus kecewa karena niat dan perjalan termasuk ongkos dan keletihannya sudah mutlak tercata dan tidak akan disia-siakan Allah.
7. Seorang hamba yang ikhlas sadar bahwa manusia hanya memiliki kewajiban menyempurnakan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Perkara yang terbaik terjadi itu adalah urusan Allah.
8. Masalah kekecewaan yang wajar adalah jika berhubungan dengan urusan dengan Allah, kecewa ketika ternyata sholatnya tidak khusyu‘, ibadahnya tidak meningkat dsb.nya.
9. Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil
10. Tidak fanatis golongan
11. Ridha dan marahnya bukan karena perasaan pribadi
12. Ringan. Lahap dan nikmat dalam beramal
13. Tidak egis karena sellau mementingkan kepentingan bersama.
11. Tidak membeda-bedakan pergaulan.
IKHLASNYA SEORANG MUQARABBIN
Dalam kitab Al Hikan, karya Syeikh Ibnu Atho’ilah tentang kedudukan seorang hamba dalam amal perbuatannya, terdapat dua tingkatan kemuliaan seorang hamba ahli ikhlas, yakni hamba Allah yang abrar dan yang muqarrabin.
Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatannya telah bersih dari riya‘ baik yang jelas maupun tersamar. Sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya, sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.
Dengan kata lain, amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena Allah. Sedangkan amalan seorang hamba yang muqarrabin dinamakan amalan billah, yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukun dzahir, sedang amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu.
Pantaslah seorang ulama ahli hikmah menasihatkan,“Perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan bahwa tidak ada kekuatan sendiri, bahwa semua kejadian itu hanya semata-mata karena bantuan pertolongan Allah saja.“
Tentulah yang memiliki kekuatan dashyat adalah keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.
7. Syukur
Bersyukur (berterima kasih), kepada sesama manusia lebih cenderung kepada menunjukkan perasaan senang menghargai. Adapun bersyukur kepada Allah lebih cenderung kepada pengakuan bahwa semua kenikmatan adalah pemberian dari Allah. Inilah yang disebut sebagai syukur. Lawan kata dari syukur nikmat adalah kufur nikmat, yaitu mengingkari bahwa kenikmatan bukan diberikan oleh Allah. Kufur nikmat berpotensi merusak keimanan.
Bersyukur kepada Allah adalah salah satu konsep yang secara prinsip ditegaskan di dalam Al-Qur'an pada hampir 70 ayat. Perumpamaan dari orang yang bersyukur dan kufur diberikan dan keadaan mereka di akhirat digambarkan. Alasan kenapa begitu pentingnya bersyukur kepada Allah adalah fungsinya sebagai indikator keimanan dan pengakuan atas keesaan Allah. Dalam salah satu ayat, bersyukur digambarkan sebagai penganutan tunggal kepada Allah:
Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik yang kami berikan kepadamu. Dan bersyukurlah kepada Allah jika memang hanya dia saja yang kamu sembah. (Al-Baqarah: 172)
Pada ayat lain bersyukur digambarkan sebagai lawan kemusyrikan:
Baik kepadamu maupun kepada nabi sebelummu telah diwahyukan: "Jika engkau mempersekutukan Tuhan, maka akan terbuang percumalah segala amalmu dan pastilah engkau menjadi orang yang merugi. Karena itu sembahlah Allah olehmu, dan jadilah orang yang bersyukur (Az-Zumar: 65-66)
Pernyataan menantang Iblis (pada hari penolakannya untuk bersujud kepada Adam), menegaskan pentingnya bersyukur kepada Allah:
Kemudian saya akan memperdayakan mereka dengan mendatanginya dari muka, dari belakang, dari kanan dan dari kiri. Dan Engkau tidak akan menemui lagi kebanyakan mereka sebagai golongan orang-orang yang bersyukur. (Al-A'raf: 17)
Ayat diatas menjelaskan bahwa Iblis mencurahkan hidupnya semata-mata untuk menyesatkan manusia. Tujuan utamanya untuk membuat manusia mengingkari nikmat Allah. Apabila tindakan Iblis ini direnungkan betul-betul, jelaslah bahwa manusia akan tersesat apabila mengingkari nikmat Allah.
Bersyukur kepada Allah merupakan salah satu ujian dari Allah. Manusia dikaruniani banyak kenikmatan dan diberitahu cara memanfaatkannya. Sebagai balasannya, manusia diharapkan untuk taat kepada penciptanya. Namun manusia diberi kebebasan untuk memilih apakah hendak bersyukur atau tidak:
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur. Kami hendak mengujinya dengan beban perintah dan larangan. Karena itu kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus: Ada yang bersyukur, namun ada pula yang kafir. (Al-Insan: 2-3)
Menurut ayat tersebut, bersyukur atau tidaknya manusia adalah tanda jelas beriman atau kafirkah ia.
Bersyukur juga berhubungan erat dengan keadaan di akhirat. Tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepada orang beriman dan bersyukur:
Masak Allah akan menyiksamu juga jika kamu bersyukur dan beriman? Malah Allah adalah pembalas jasa kepada orang mukmin yang bersyukur serta Maha Mengetahui. An-Nisa: 147
Ayat ini bersama dengan sejumlah ayat lain memberikan berita baik kepada orang-orang yang bersyukur kepada pencipta mereka:
Dan ingat pulalah ketika Tuhanmu memberikan pernyataan: "Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmatKu kepadamu; sebaliknya jika kamu mengingkari nikmat itu, tentu siksaanku lebih dahsyat. (Ibrahim: 7) Karunia itulah yang disampaikan Allah sebagai berita gembira kepada hamba-hambaNya yang beriman dan mengerjakan kebaikan. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu atas seruanku ini, kecuali hanya kasih sayang dalam kekeluargaan. Siapa yang mengerjakan kebaikan, Kami lipat gandakan kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penilai. (Ash-Syura: 23) Kaum Luthpun telah mendustakan peringatan Tuhan. Kami hembuskan kepada mereka angin puyuh, kecuali kaum keluarga Luth, mereka telah kami selamatkan sebelum fajar menyingsing. Suatu anugrah dari kami. Demikianlah kami memberi ganjaran kepada siapa yang bersyukur. (Al-Qamar: 33-35)
"Seandainya kalian menghitung nikmat Allah, tentu kalian tidak akan mampu" (An-Nahl: 18). Menurut ayat tersebut, jangankan menghitung nikmat, mengkategorikannya saja tidak mungkin sebab nikmat Allah tidak terbatas banyaknya. Karenanya seorang mukmin tidak seharusnya menghitung nikmat, melainkan berdzikir dan mewujudkan rasa syukurnya.
Anggapan kebanyakan orang, bersyukur kepada Allah hanya perlu dilakukan pada saat mendapatkan anugrah besar atau terbebas dari masalah besar adalah keliru. Padahal jika mau merenung sebentar saja, mereka akan menyadari bahwa mereka dikelilingi oleh nikmat yang tidak terbatas banyaknya. Setiap waktu setiap menit, tercurah kenikmatan tak terhenti seperti hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra, udara yang dihirup...; pendek kata segala sesuatu yang memungkinkan orang untuk hidup diberikan oleh Allah. Sebagai balasan semua itu, seseorang diharapkan untuk mengabdi kepada Allah sebagai rasa syukurnya. Orang-orang yang tidak memperhatikan semua kenikmatan yang mereka terima, dengan demikian telah mengingkari nikmat (kufur). Mereka baru mau bersyukur apabila semua kenikmatan telah dicabut. Sebagai contoh, kesehatan yang tidak pernah mereka akui sebagai nikmat baru mereka syukuri setelah mereka sakit.
Al-Qur'an memerintahkan untuk mengingat nikmat Allah berulang-kali karena manusia cenderung melupakannya. Seluruh buku yang ada di dunia ini tidak akan cukup untuk menulis nikmat Allah. Allah menciptakan manusia dalam bentuknya yang sempurna, memiliki panca indra yang memungkinkan manusia untuk merasakan dunia di sekelilingnya, membimbingnya menuju jalan yang benar melalui Al-Qur'an dan Al-Hadits, menciptakan air segar dan makanan yang berlimpah, melancarkan pelayaran, yang kesemuanya itu ditujukan untuk keuntungan manusia. Setiap orang yang berdoa dan berbuat baik pasti juga bersyukur kepada Allah sebab orang-orang yang mengingkari nikmat Allah pasti juga tidak pernah ingat kepada Allah. Seseorang yang bertingkah laku seperti hewan, mengkonsumsi segala sesuatu yang diberikan padanya tanpa mau berfikir mengapa semua itu dianugrahkan dan siapa yang menganugrahkan, sudah selayaknya mengubah tingkah laku seperti itu. Sebaliknya, bersyukur hanya di saat menerima nikmat besar saja tidak akan berarti. Itulah sebabnya orang mukmin hendaknya tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Allah.
Dari Al-Qur'an kita juga tahu bahwa hanya orang-orang yang bersyukurlah yang mau mengakui tanda-tanda kekuasaan Allah di dunia dan mengambil pelajaran darinya. Ayat-ayat di bawah ini menguraikan hal tersebut:
Adapun tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh dengan subur dengan izin Allah. Dan tanah yang gersang, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kebesaran kami bagi orang-orang yang bersyukur. (Al-A'raf: 58)
Dan sesungguhnya kami telah mengutus Musa kepada Bangsa Israil, dengan beberapa mukjizat dari kami sebagai pengukuhan dan disertai perintah dari Kami: "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kejahilan kepada cahaya iman yang terang-benderang, serta ingatkanlah mereka kepada "Hari-hari Allah"(Maksudnya, hari-hari yang penuh suka dan duka. Suka karena beroleh bahagia, dan duka karena ditimpa malapetaka, baik yang telah terjadi pada bangsa-bangsa sebelum Musa, maupun yang terjadi di zaman Musa sendiri). Dalam hal yang demikian terdapat tanda-tanda kekuasaan Tuhan bagi orang-orang yang selalu sabar dan bersyukur Maksudnya sabar jika kedatangan malapetaka, dan bersyukur jika beroleh kebahagiaan. Baik dan buruk, bahagia dan malapetaka tidak akan luput dari kehidupan manusia di dunia ini. Karena itu, sabar dan bersyukur adalah senjata ampuh yang wajib dipegang teguh selamanya)(Ibrahim: 5).
Apakah engkau tidak perhatikan, bahwa kapal itu dapat berlayar di lautan karena Karunia Allah jua Karunia Allah di sini ialah kodratNya yang menundukkan lautan dan angin, supaya kapal-kapal layar dapat berlayar di lautan), untuk diperlihatkanNya kepadamu di antara tanda-tanda kekuasaanNya. Dalam hal ini terdapat bukti-bukti kenyataan bagi semua orang yang sabar dan bersyukur. (Luqman: 31).
Namun begitu mereka berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak hubungan antara kami dan Syria" (Tujuan permintaan ini supaya negeri-negeri yang berdekatan itu dihapuskan, agar jarak perjalanan menjadi jauh dan panjang, sehingga terbuka kesempatan untuk melakukan monopoli dalam perdagangan) Itu berarti mereka menganiaya diri sendiri. Karena itu Kami jadikan peristiwa mereka jadi buah tutur, lalu kami ganyang mereka sehancur-hancurnya. Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran bagi setiap yang sabar dan bersyukur. (Saba: 19)
Hikmah maupun bukti yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang dikaruniai wawasan dan kepekaan yang biasa dimiliki oleh orang-orang yang bersyukur.
Wawasan dan kepekaan tersebut merupakan balasan atas rasa syukur kepada Allah. Sebaliknya orang-orang yang ingkar dan tidak peka, untuk memperhatikannya pun mereka enggan.
Di dalam banyak ayat, Allah menasehati para rasulNya. Salah satunya adalah Musa, untuk bersyukur:
Allah berfirman: "Hai Musa! Sesungguhnya Aku telah memilihmu melebihi dari manusia yang lain untuk mengemban tugas kerasulan-Ku dan untuk berbicara secara langsung dengan-Ku. Oleh karena itu, pegang teguhlah Syari'at yang Aku berikan kepadamu, dan hendaklah engkau menjadi orang yang bersyukur. (Al-A'raf: 144)
Di dalam surat Al-Ahkaf ayat 15, seorang mukmin di dalam kematangannya (umur 40 tahun diacu di dalam Al-Qur'an sebagai umur kematangan), berdoa supaya dijadikan orang yang bersyukur:
Kami perintahkan kepada manusia supaya: Berbuat baik kepada kedua ibu-bapak. Ibunya mengandung dan melahirkannya dengan susah payah. Mengandung sampai dengan menyapihnya, tigapuluh bulan (Dihitung menurut masa kandungan yang terpendek, yaitu enam bulan. Ditambah dengan masa penyusuan yang sempurna yaitu duapuluh empat bulan (2 tahun), menjadi tigapuluh bulan). Sehingga manakala ia sampai dewasa, usianya cukup empatpuluh tahun, dia mendoa: "Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku bagaimana mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu-bapakku. Jadikanlah amal perbuatanku sesuai dengan keridhaanMu dan berikanlah kebaikan kepadaku berkelanjutan sampai kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepadaMu, dan aku adalah orang yang berserah diri. (Al-Ahkaf: 15)

8. Taubat
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan.
Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya.
Hidup suci dalam Islam bisa diraih oleh siapa saja. Kesucian hidup, bukanlah hak istimewa seseorang. Jalan tersebut terbuka bagi siapa saja, tidak hanya milik para ulama. Bahkan orang jahat sekalipun, ia bisa menapak cara hidup suci, asal dia bersedia untuk bertaubat dan bersungguh-sungguh. Bagi Allah, kesalehan bukan karena sama sekali tidak berbuat dosa, akan tetapi orang yang saleh adalah orang yang setiap kali berbuat dosa dia menyesali dan selanjutnya tak mengulangi perbuatan tadi.
Pepatah Arab menegaskan : "Manusia adalah tempat salah dan lupa". Pepatah di atas bukan berarti manusia dibiarkan untuk selalu berbuat salah dan dosa, akan tetapi kesalahan pada diri manusia harus ditebus dengan tobat, penyesalan dan penghentian. Rasulullah bersabda : Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.? (H.R. Tirmidzi)
Taubat yang sungguh-sungguh di mata Allah adalah pembersihan diri yang sangat dicintai. Dalam Islam, pertaubatan bukan melalui orang lain, sebut saja orang saleh, tetapi dari diri sendiri secara langsung kepada Allah. Apalagi, Islam tidak mengenal penebusan dosa dengan sejumlah uang. Islam sungguh sangat berbeda dengan cara-cara pertaubatan dibanding agama-agama lain. Islam memandang, pertaubatan adalah persoalan yang sangat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan, Tuhan dalam Islam adalah Tuhan yang bisa didekati sedekat mungkin, bukan tuhan yang berada di atas langit, tak terjangkau.
Sabda Rasulullah (saw) : "Sesungguhnya Allah lebih suka menerima tobat hamba-Nya melebihi dari kesenangan seseorang yang menemukan kembali ontanya yang hilang di tengah hutan." (H.R. Bukhori dan Muslim)
Islam tidak menganggap taubat sebagai langkah terlambat kapanpun kesadaran itu muncul. Hisab (perhitungan) akan amal-amal jelek kita di mata Allah akan terhapus dengan taubat kita. Lembaran baru hidup terbuka lebar. Langkah anyar terbentang. Sabda Nabi (saw) : Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.? (H.R. Muslim)
Bertaubat, demikian halnya, dijadikan amalan dzikir oleh Rasulullah (saw) setiap hari. Beliau beristighfar kendati sedikitpun beliau tidak melakukan dosa. Karena lewat istighfar, Nabi memohon ampun dan mengungkapkan kerendahan hati yang sangat dalam di hadapan yang Maha Agung. Sabda Nabi (saw) : Hai sekalian manusia, bertaubatlah kamu kepada Allah dan mintalah ampun kepada-Nya, maka sesungguhnya saya bertaubat dan beristighfar tiap hari 100 kali.? (H.R. Muslim)
Firman Allah : Katakanlah ! Hai hamba-hamba-Ku yang berdosa terhadap jiwanya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.? (Q.S. al-Zumar : 53)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat, semoga Tuhan mu akan menghapuskan dari kamu akibat kejahatan perbuatan-perbuatanmu, dan akan memasukkan kamu ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.? (Q.S. al Thalaq : 8)
Dalam memperbaiki kesalahan dan membersihkan diri dari dosa, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu hak Allah dan hak bani Adam. Apabila kesalahan atau dosa berhubungan dengan hak Allah, maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1.Harus menghentikan tindakan maksiat.
2.Harus dengan sungguh-sungguh menyesali perilaku dosa yang telah dikerjakan.
3.Berniat dengan tulus untuk tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut.

Dan, apabila kesalahan itu berhubungan dengan bani Adam, maka syarat bertambah satu, yaitu harus menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan meminta maaf atau halalnya, atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.
Sabda Nabi (saw) : Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. Dan orang yang minta ampunan dari dosanya, sedangkan dirinya tetap mengerjakan dosa, seperti orang yang mempermainkan Tuhannya.? (H.R. Baihaqi)
9. Tawakkal
Tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan penuh kepercayaan kepadaNya disertai mengambil sebab yang diizinkan syariat. (Qoulul Mufid 2/52). Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa tawakkal yang dilakukan seseorang bisa dinilai sebagai tawakkal yang dibenarkan jika terpenuhi dua syarat: [1] Kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah dan [2] Menggunakan sebab yang diizinkan syariat.
Kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertawakkal kepada Allah. Meskipun demikian, dalam perjalanan dakwahnya, beliau melakukan usaha dan menggunakan beberapa sebab yang diziinkan syariat. Ketika hijrah ke Madinah beliau menyewa orang badui yang bernama Abdullah bin ‘Uraiqith untuk dijadikan sebagai penunjuk jalan. Kita paham betul bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakin Allah bisa menunjukkan jalan hijrahnya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyewa orang lain sebagai penunjuk jalannya menuju Madinah. Ini hanya sekelumit contoh dari sekian perjalanan dakwah beliau.
Sesungguhnya Allah, Dzat yang Hakim, dengan hikmahNya, Dia menjadikan segala sesuatu itu ada sebabnya. Maka bagian dari keyakinan terhadap hikmah Allah adalah menggunakan sebab yang diizinkan syariat ketika hendak menmperoleh sesuatu. Sebaliknya orang yang melakukan sesuatu namun tidak menggunakan sebab yang diizinkan syariat maka dia dianggap telah mengingkari hikmah Allah.
Keutamaan Bertawakkal
1. Tawakkal adalah setengah agama
Sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Fatihah ayat 5, Allah berfirman, yang artinya: “Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan.” Para ahli tafsir menjelaskan bahwa induk Al Qur’an adalah surat Al Fatihah. Sedangkan inti dari surat Al Fatihah adalah ayat yang ke-5 di atas. Dengan kata lain, ajaran yang terkandung dalam ayat ini merupakan inti dari ajaran islam. Karena bagian inti dari islam adalah beribadah hanya kepada Allah semata. Sementara kita tidak mungkin bisa mewujudkan tujuan ini kecuali hanya dengan bantuan dari Allah. Penggalan pertama ayat ini: “hanya kepadaMu kami beribadah” merupakan tujuan ajaran islam, sedangkan penggalan kedua: “hanya kepadaMu kami memohon pertolongan” merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan inti ajaran islam tersebut.
2. Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman dan terwujudnya amal shaleh
Ibnul Qoyyim menyatakan, “Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman, ihsan dan terwujudnya seluruh amal shaleh. Kedudukan tawakkal terhadap amal seseorang itu sebagaimana kedudukan rangka tubuh bagi kepala. Maka sebagaimana kepala itu tidak bisa tegak kecuali jika ada rangka tubuh, demikian pula iman dan tiang-tiang iman serta amal shaleh tidak bisa tegak kecuali di atas pondasi tawakkal.” (Dinukil dari Fathul Majid 341)
3. Tawakkal merupakan bukti iman seseorang
Allah berfirman, yang artinya: “Bertawakkal-lah kalian hanya kepada Allah jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23). Ayat ini menunjukkan bahwa tawakkal hanya kepada Allah merupakan bagian dari iman dan bahkan syarat terwujudnya iman.
4. Tawakkal merupakan amal para Nabi ‘alahimus shalatu was salam
Hal ini sebagaimana keterangan Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan satu kalimat: “hasbunallaah wa ni’mal wakiil” yang artinya, “Cukuplah Allah (menjadi penolong kami) dan Dia sebaik-baik Dzat tempat bergantungnya tawakkal.” Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalimat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alahis shalatu was salam ketika beliau dilempar ke api. Dan juga yang diucapkan Nabi Muhammad ‘alahis shalatu was salam ketika ada orang yang mengabarkan bahwa beberapa suku kafir jazirah arab telah bersatu untuk menyerang kalian (kaum muslimin)…” (HR. Al Bukhari & An Nasa’i).
5. Orang yang bertawakkal kepada Allah akan dijamin kebutuhannya
Allah berfirman, yang artinya, “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya).” (QS. At Thalaq: 3)
Macam-macam Tawakkal
Ditinjau dari sisi tujuanya, tawakkal dibagi menjadi dua macam:
1. Tawakkal kepada Allah
Bertawakkal kepada Allah merupakan bentuk ibadah yang sangat agung, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Tawakkal kepada Allah baru akan sempurna jika disertai keadaan hati yang merasa butuh kepada Allah dan merendahkan diri kepadaNya serta mengagungkannya.
2. Tawakkal kepada selain Allah
Bertawakkal kepada selain Allah ada beberapa bentuk:
• Tawakkal dalam hal-hal yang tidak mampu diwujudkan kecuali oleh Allah, seperti menurunkan hujan, tolak balak, tercukupinya rizki dst. Tawakkal jenis ini hukumnya syirik besar.
• Tawakkal dalam hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah namun Allah jadikan sebagian makhluqnya sebagai sebab untuk terwujudnya hal tersebut. Misalnya kesehatan, tercukupinya rizqi, jaminan keamanan, dst. Yang bisa mewujudkan semua ini hanyalah Allah. Namun Allah jadikan dokter dan obat sebab terwujudnya kesehatan, Allah jadikan suami sebagai sebab tercukupinya rizqi keluarganya, Allah jadikan petugas keamanan sebagai sebab terwujudnya keamanan, dst.. Maka jika ada orang yang bersandar pada sebab tersebut untuk mewujudkan hal yang diinginkan maka hukumnya syirik kecil, atau sebagian ulama menyebut jenis syirik semacam ini dengan syirik khofi (samar). Namun sayangnya banyak orang yang kurang menyadari hal ini. Sering kita temukan ada orang yang terlalu memasrahkan kesembuhannya pada obat atau dokter. Termasuk juga ketergantungan hati para istri terhadap suaminya dalam masalah rizqi. Seolah telah putus harapannya untuk hidup ketika ditinggal mati suaminya… Semoga kita diselamatkan oleh Allah dari bencana yang sering menimpa hati manusia ini..
• Tawakkal dalam arti mewakilkan atau menugaskan orang lain untuk melakukan tugasnya. Tawakkal jenis ini hukumnya mubah selama tidak disertai jiwa merasa butuh dan penyandaran hati kepada orang tersebut.
Arti Penting Tawakkal Dalam Beribadah
Terkait dengan masalah tawakkal, terdapat pelajaran yang sangat berharga dari keterangan Ibnul Qoyyim dalam Al Fawaid. Berikut adalah saduran dengan beberapa tambahan dari perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah:
Perlu kita pahami bahwa asas dari segala kebaikan adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Karenanya para ulama sepakat bahwa asal dan sumber segala perbuatan baik yang dilakukan oleh hamba adalah karena nikmat Allah berupa taufiq yang Allah berikan kepadaNya. Para ulama juga sepakat bahwa asal dan sumber segala perbuatan buruk yang dilakukan oleh hamba adalah karena Allah meninggalkannya dan tidak memberikan taufiq kepadanya, yang pada hakekatnya ini merupakan hukuman yang Allah berikan kepadanya. Nabi ‘alahis shalatu was salam bersabda dalam sebuah hadis qudsi, “…barangsiapa yang mendapati kebaikan maka hendaknya dia memuji Allah dan barangsiapa yang mendapati selain itu maka hendaknya dia tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim).
Ulama juga sepakat bahwa yang dimaksud orang yang mendapatkan taufiq adalah orang yang tidak Allah biarkan untuk bersandar pada dirinya sendiri, namun jadikan dirinya sebagai orang yang selalu bersandar kepadaNya. Sebaliknya orang yang tidak diberi taufiq adalah orang yang dibiarkan oleh Allah untuk senantiasa bersandar pada dirinya sendiri dan lupa untuk bersandar kepada Allah.
Oleh karena itu, jika asas kebaikan adalah taufiq, sementara taufiq itu ada di tangan Allah dan bukan di tangan hamba, maka kunci pokok untuk bisa mendapatkan taufiq adalah dengan banyak berdo’a, disertai hati yang merasa butuh, penuh harap dan cemas dalam meminta taufiq kepadaNya. Siapa yang memiliki kunci yang istimewa ini, itu berarti tanda bahwa Allah berkehendak untuk membukakan pintu taufiq kepadanya. sebaliknya, orang yang tidak memiliki kunci ini maka pintu taufiq akan senantiasa tertutup untuknya. Mari sejenak kita pahami pernyataan Ibnul Qoyyim di atas. Dengan memahami apa yang beliau sampaikan, kita berharap bisa termasuk orang yang mendapatkan taufiq.
Berdasarkan keterangan beliau, orang yang ingin mendapatkan taufiq dalam beribadah kepada Allah, dituntut untuk senantiasa berusaha bersyukur kepada Allah terhadap hidayah yang Allah berikan dan berusaha untuk memohon kepada Allah agar taufiq tersebut dikekalkan dalam dirinya. Disamping itu, dia juga berusaha untuk senantiasa memohon kepada Allah agar dia dijauhkan dari segala bentuk perbuatan buruk yang merupakan sebab terputusnya taufiq.
Oleh karena itu, termasuk di antara ciri ahli taufiq (orang yang mendapat taufiq) adalah orang yang tidak percaya diri dalam agamanya dan tidak yakin mampu menjamin tetapnya hidayah yang ada pada dirinya. Dan ini merupakan kebiasaan Nabi Muhammad ‘alahis shalatu was salam dan para sahabatnya dan sifat orang-orang soleh yang mengikuti jejak mereka. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah kebiasaan beliau ketika pagi dan sore membaca: Yaa hayyu yaa qoyyuum, bi rahmatika astaghiitsu, ashlih-lii sya’-nii kullahuu, wa laa takilnii ‘alaa nafsii tharfata ‘ainin. [Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Yang mengurusi kehidupan makhluqNya, dengan rahmatMu aku memohon pertolongan, perbaikilah seluruh urusanku, dan jangan Engkau pasrahkan pada diriku sekejap matapun] (HR. An Nasa’i dan Al Hakim, dishahihkan oleh Al Albani)
Nabi Muhammad ‘alahis shalatu was salam sadar bahwa dirinya adalah seorang utusan yang dilindungi oleh Allah dari kesesatan. Namun demikian, beliau tetap membiasakan do’a ini, yang menunjukkan bahwa beliau selalu memasrahkan urusannya, baik dunia maupun akhiratnya hanya kepada Allah semata. Beliau juga memohon agar jangan sampai itu dipasrahkan pada diri beliau sendiri.
Kemudian sebaliknya, sebab utama manusia sesat adalah karena tidak mendapat taufiq dari Allah. Dan umumnya ini terjadi pada orang yang terlalu berpangku pada kemampuan dirinya, atau pada orang yang merasa sombong dengan amalnya sehingga merasa pasti masuk surga. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Ibn Mas’ud, di mana Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda: ”… ada orang yang beramal dengan amalan penduduk surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga tinggal satu hasta. Namun ketetapan (catatan taqdir) telah mendahuluinya, kemudian dia melakukan perbuatan penduduk neraka dan akhirnya dia masuk ke neraka…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dijelaskan oleh sebagian ulama, bahwa salah satu sebab mengapa orang ini menjadi sesat dan mendapatkan su’ul khotimah adalah karena orang ini merasa sudah banyak beramal sehingga menyebabkan dia sombong dan selanjutnya tidak lagi butuh pada hidayah Allah. Akhirnya dia menjadi orang yang terlalu percaya diri dan berpangku pada pribadinya. Kemudian Allah tidak berikan hidayah kepadanya dan jadilah dia orang yang sesat.
2. Implementasi akhlak kepada Allah dalam kehidupan Pendidikan
Dalam dunia pendidikan saat ini sangat membutuhkan akhlak kepada Allah swt, terutama sebagai seorang pendidik maka hendaknya seorang pendidik harus benar-benar berakhlak kepada Allah, sehingga akan melahirkan pendidik yang dekat dengan Allah swt, ketika mereka dekat dengan Allah, maka Allah akan memberikan kekuatan hati yang sangat luar biasa, maka dlam menyampaikan akan lebih kuat dan mendapat pertolongan Allah swt, sehingga akan mampu melakukan perubahan pada pola piker, karakter dan akhlak peserta didik.

SAP al-ISLAM II FKIP UM Metro

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO

Mata Kuliah/Kode MK : Al Islam II
Semester/SKS : II/2 SKS
Fakultas / Jurusan/Prodi : Semua Jurusan/PS
Dosen/Tim Dosen : M.Samson Fajar , M.Sos.I

1. Diskripsi materi
Mata kuliah ini akan membahas dengan titik tekan pada pembelajaran pemahaman akhlakul karimah yang meliputi Akhlaq kepada Allah, Rasul, orang tua, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bernegara. Secara kontekstual materi-materi ini akan diintegrasikan dengan profesi kependidikan, sehingga akan melahirkan para pendidik yang berakhlakul karimah.

2. Tujuan Perkuliahan
1. Agar mahasiswa memahami pengertian akhlak dan ruang lingkupnya
2. Agar mahasiswamemahami tentang perbedaan signifikan antara akhlak dan moral
3. Agar mahasiswa memahami dan mengamalkan akhlak dalam kehidupan sehari-hari secara spesifik dalam kehidupan profesi kependidikan


3. Kegiatan perkuliahan



No Pertemuan ke- Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan
1 I Kontrak kuliah: 1. Tata tertib perkuliahan dan sanksi
2. Penjelasan Sistematika Penilaian
3. Pengantar al-Islam II
2 II Dekripsi Akhlak: 1. Definisi Akhlak
2. Macam-macam akhlak
3. Perbedaan akhlak dan Moral
4. Urgensi akhlak dalam kehidupan
5. Urgensi akhlak dalam kehidupan pendidikan

3 III Akhlak Kepada Allah swt :
1. Taqwa, Cinta, Ridho, Khauf, Roja’, Ikhlas, Syukur, Taubat dan tawakkal
2. Implementasi akhlak di atas dalam kehidupan

4 IV Akhlak kepada Rosulullah saw:
1. Mahabbah, Memuliakan, mentaati, sholawat dan salam
2. Implementasi akhlak kepada Rosul dalam kehidupan pendidikan

5 V Akhlak terhadap diri sendiri:
1. Shidiq, Amanah, Istiqomah, Iffah, Syaja’ah, mujahadah, tawadu, malu dan sabar
2. Implementasi akhlak terhadap rasul dalm profesi kependidikan

6 VI Akhlak terhadap keluarga: 1. Hak dan kewajiban dalam keluarga
2. Akhlak suami istri
3. Akhlak orang tua kepada anak
4. Akhlak anak kepada orang tua
5. Implementasi akhlak terhadap keluarga bagi seorang pendidik

7 VII Akhlak Bersaudara Dan Bertetangga 1. Hak Dan Kewajiban Dalam Bersaudara
2. Hak dan kewajiban dalam bertetangga
3. Implementasi dalam kehidupan pendidikan

8 VIII Akhlak seorang pendidik kepada Murid: 1. Hak dan kewajiban guru
2. hak dan kewajiban seorang murid

9 IX Mid Smester
10 X Akhlak kepada Masyarakat: 1. Akhlak bertamu dan menerima tamu
2. Akhlak dalam kehidupan social kemasyarakatan.
3. Implementasi akhlak kepada masyarakat dalam dunia kependidikan
11 XI Akhlak bernegara :
1.Akhlak pemimpin kepada rakyatnya
2. Akhlak rakyat kepada pemimpinya
3. konsep musyawarah dan demokrasi
12 XII Islam Rahmatan Lil-Alamin 1. Konsepsi Ilahiyah Yang Masih Menara Gading
2. Implementasi rahmatan lil-Alamin diawali dari kampus

13 XIII Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar I 1. Konsepsi Dakwah Dalam Islam
2. Konsepsi amar makruf nahi munkar
3. Implementasi dakwah dan amar makruf dalam pendidikan
14 XIV Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar II 1. Konsepsi Dakwah Dalam Islam
2. Konsepsi amar makruf nahi munkar
3. Implementasi dakwah dan amar makruf dalam pendidikan
15 XV Review dan Evaluasi
16 XIV Ujian smester


4.Unsur Penilaian:
a. Tugas /Quis
b. Mid Smester
c. Ujian Semester

5. Literatur
a. Al Qur’an dan terjemah, depag RI
b. Abul A’la al Maududi, Prinsip-prinsip ajaran Islam, al Ma’arif Bandung
c. Drs. Razak Nazaruddin, Dienul Islam, Al Ma’arif Bandung
d. Musthafa Kamal, Fiqih Islam, PP Muhammadiyah, yogya karta
e. Mahmud Saltut, Al Islam, Aqidah dan Syari’ah
f. Drs. Yunahar Ilyas, Lc, Kuliah Akidah
g. Drs . Yunahar Ilyas, Lc. Kuliah akhlak
h. Abu Bakar Jabir al Jazairi, Ensiklopedi Muslim.

6. Evaluasi
A ... ………..
B. ...............
Dosen



M.Samson Fajar, M, Sos.I
NBM: 996544